WACANA AKTUAL
Indonesia Cooperative Entreprenuer 
WA-ICE Edisi I Th.1 Juni 2002
Wacana Aktual
Analisis Co-op
Glossary Hari Ini
Warta Koperasi
Apa Kata Mereka
Hasil Riset
Resensi Buku
Tentang Kami

 

Wacana Aktual

 
 
 

 

Pengelolaan Hutan dan Konsep Koperasi:
mencari persenyawaannya
oleh: Asep Mulyana 

Hutan Indonesia siapa peduli
Pertanyaan dasar yang harus diajukan  adalah, apakah kita sebagai bangsa Indonesia berkeinginan melihat hutan Indonesia ini kembali utuh untuk kelangsungan hidup anak cucu kita, atau  dibiarkan terkikis habis menjadi alang-alang, bahkan menjadi gurun. Bila jawabannya yang pertama, maka Hutan Indonesia  itu perlu di kelola dengan baik dan benar, agar kelestariannya dapat terjaga. Tetapi jika jawabannya adalah yang kedua, tulisan ini tidak memiliki signifikansi  lagi.

Hutan  adalah bagian dari sumberdaya alam, yang dapat  dimanfaatkan secara langsung (diambil kayunya) atau secara tidak langsung (untuk penyelamatan lingkungan hidup). Dalam teori ilmu kehutanan dinyatakan, bahwa pada dasarnya dari areal hutan itu tidak ada penebangan pohon, karena azas pemanfaatan hutan itu adalah "sustained yield principle". Layaknya managemen hutan normatif harus mengindahkan konsep bahwa setiap penebangan harus selalu diikuti dengan penanaman (pada hutan produksi non hutan alam), atau mengambil pohon dengan meninggalkan permudaan alam/tegakan sisa yang tidak diperkenankan ditebang karena diameternya belum cukup tebang. Kelak dari anakan pohon yang ditinggalkan tersebut akan dipanen pada saat siklus tebang dari areal hutan bersangkutan telah kembali ke awal setitar 20 tahun kemudian.
Konsep dari sebuah teori memang selalu ideal, karena kondisi yang diinginkan bisa diasumsikan dan dapat terpenuhi. Jika teori tentang kehutanan itu bisa berjalan "seindah warna aslinya" tentu hutan di Indonesia akan tetap teruntai bagai jamrud di khatulistiwa. Namun siapa pun akan menyatakan, bahwa hutan di Indonesia, kini keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan!
Lalu dimana teori indah nan ideal itu dipraktekan? Entahlah. Salah satu iklan yang paling populer di televisi  sekitar tahun 90-an adalah pernyataan “Ah Teori”, sehingga seakan-akan membuat semua teori yang ada tidak berguna karena hanya tersimpan sebagai arsip dan pada akhirnya akan terbuang pada keranjang sampah. Jika masyarakat kita sudah berpikiran seperti ini, maka hancurlah sebuah masyarakat, karena tidak ada lagi penghargaan terhadap sebuah ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan akan sepi karena di sana sebagian besar hanya menyajikan teori-teori yang indah dan ideal saja.
Dalam jangka panjang teori-teori tetap dan sangat diperlukan untuk kemajuan dan kemaslahatan umat sebuah bangsa. Proses penemuan sebuah teori merupakan sebuah proses yang sangat panjang, dan tentunya memerlukan daya pemikiran yang matang. Untuk mencapai sebuah kematangan ada tahap-tahap yang harus di lalui, seperti halnya kehidupan belum pernah ada bayi yang lahir langsung bergigi dan berjalan, yang ada adalah nenek atau kakek yang sudah ompong. 
Proses kematangan sebuah masyarakat adalah dengan adanya lembaga pendidikan baik formal ataupun non formal yang mempunyai visi, misi dan tujuan yang jelas, yang menunjang proses kearah Indonesia yang lebih baik, sesuai dengan salah satu amanat pembukaan UUD-45 yaitu mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” yang bisa diterjemahkan dengan suatu masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Dan tentunya hal ini tidak luput instrumen atau lembaga yang mendukung kearah itu, seperti pemerintah, regulasi, dan masyarakat itu sendiri.
Satu paparan menarik mengenai managemen hutan ini terjadi pada kolloquium yang diselenggarakan oleh Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Chapter Eropa (4/5/2002) di Frankfurt bertajuk „Indonesien Forestry Management”. Beberapa permasalan yang sempat terungkap bahwa sudah terjadi semacam pelacuran ilmu kehutanan yang indah itu selama 3 dasa warsa demi sebuah slogan percepatan pertumbuhan ekonomi, yang arah dan tujuannya sudah banyak meyimpang jauh dari semula menjadi memakmurkan segolongan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan. Sehingga sampai sekarang pun masih berlomba-lomba untuk menjadi penguasa, tanpa mempedulikan lagi aturan main. Ironis memang jika kekuasaan menjadi tujuan utama, padahal setiap pemimpin pasti dimintai pertanggungjawaban oleh masyarakat dan Tuhan jika kita sudah meninggal dunia. 
Kelemahan utama dari dunia kehutanan kita, dan juga barangkali sisi gelap di Indonesia umumnya, adalah kelemahan di bidang  penegakan hukum. Kebijakan yang baik menuntut implementasi yang kuat. Sayangnya pihak pelaksana kebijakan sering membuat keputusan-keputusan sendiri-sendiri di tingkat operasional yang akhirnya meniadakan fungsi kebijakan makro yang melindungi hutan Indonesia. Sebagai perbandingan, dalam diskusi yang berjalan hangat di ruang seminar, terungkap betapa pemerintah Jerman memberikan “daya dorong” bagi keberhasilan pelaksanaan sustainable growth (pertumbuhan berkesinambungan) hutan mereka. Keberhasilan dari sebuah pengelolaan tentunya memerlukan alat ukur yang jelas, salah satu contoh adalah pemerintah Jerman menetapkan kebijakan dengan menyebutkan  tujuan kuantitatif “menambah areal hutan  setiap tahun” dalam undang-undangnya. Aturan di Jerman dibuat sedetil mungkin, supaya semua anggota masyarakat mengerti aturan yang ada, sehingga penegakan peraturan dapat dilakukan dengan transparani dan melibatkan  elemen masyarakat/stake holder negara. Sebagai hasilnya, hutan di Jerman terus bertambah luas dan hijau. 

Di Indonesia tujuan yang ditetapkan adalah mengelola hutan secara optimal dengan tidak di dukung dengan transparansi ketentuan peraturan.Berangkat dari hal tersebut terlihat bahwa alat ukur yang digunakan tidak jelas, sehingga memungkinkan penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan di lapangan. Ada pemeo yang mungkin membuat kuping panas  adalah “kalau bisa dibuat sulit mengapa di buat mudah, kalau bisa dibuat bingung mengapa di buat jelas”. Di dalam pengelolaan kehutanan pemeo ini bisa dipraktekkan dengan „kalau bisa dibabat habis buat apa disisakan?, kalau dana reboisasi bisa disulap untuk kepentingan lain, mengapa harus untuk reboisasi, dan seterusnya“.  Dan itu adalah bukan sifat kepribadian bangsa Indonesia yang begitu luhur dan adi luhung, terkenal dengan keramah-tamahannya.

Mencari Persenyawaan Manajemen Hutan dalam Nilai dan Prinsip Koperasi
Masih dalam acara kolloqium tersebut, lebih lanjut terungkap problematika bagaimana solusi alternatif yang bisa ditawarkan pada bangsa ini,  dan upaya memperbaiki pengelolaan kehutanan di Indonesia. Terungkap bahwa inti permasalahan pengelolaan hutan di Indonesia  tidak terletak pada kurangnya  kepedulian dan konsen terhadap kondisi ini, tetapi sangat kurangnya koordinasi antara pihak-pihak yang berkepentingan sehingga kebijakan yang dibuat tidak sesuai dengan kondisi realitas yang ada. Dalam mengelola hutan diperlukan kerjasama dan koordinasi semua pihak tanpa merasa ada yang paling pintar dan paling penting seperti halnya manusia yang utuh adalah dari kaki sampai kepala dan mempunyai ruh.

Bangsa Indonesia sudah kehilangan apa yang dulu selalu di dengar penulis  yang dalam Bahasa Jerman dikenal sebagai  “Social Gerechtigkeit”, yaitu bagaimana anak cucu bangsa ini harus mewarisi keadaan yang lebih baik dan bukan sebaliknya. Masih ada kesempatan untuk mencoba berbuat yang terbaik buat kelestarian hutan ini, sehingga Social Gerechtigkeitnya ini dapat diaplikasikan kembali di Nusantara ini. Sebagai lembaga alternatif yang dapat ditawarkan adalah pengelolaan yang menggunakan prinsip Genossenschaft (koperasi), dimana semua stake holder yang menjadi bagian dari lembaga ikut bertanggung jawab penuh pada kemajuan lembaga itu. 

Ambil saja salah satu prinsip Koperasi yaitu prinsip yang ketujuh Koperasi dimana dikenal istilah Kepedulian terhadap Komunitas. Terkait dengan manajemen Hutan adalah jika upaya pengelolaan management hutan mampu untuk mengadopsi prinsip ketujuh Koperasi tak ayal degradasi hutan akan dicegah sedini mungkin. Paling tidak teralokasi dengan cermat dan berkelanjutan.Namun hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan harus ada usaha kearah sana, minimal dengan melakukan propaganda langsung di lapangan maupun dengan penyempurnaan kebijakan terkait.

Penutup
Jika usaha pencarian persenyawaan antara menajemen Hutan dengan nilai dan prinsip yang dikembangkan oleh Koperasi dapat terwujud, minimal ada semacam peluang untuk kembali melakukan penyadaran betapa rawan sekali pereduksian hutan sebagai sumber daya tak terpulihkan untuk anak cucu kita kelak. Meskipun ini hanya satu alternatif dibanyak alternatif yang lain. Namun demikian ada semacam semangat kepedulian dan kebersamaan terlagi murah karena semua hanya disikapi dan didasarkan pada penyadaran atas arti penting hutan bagi masa depan umat manusia. Penulis mencoba menutup dengan sebuah iklan yang juga populer yang mudah-mudahan kita semua terprovokasi untuk  bisa mempertahankan idealisme bangsa Indonesia yang sudah merdeka 52 tahun untuk “Berlomba-lomba membuat kebajikan bukan  kebijakan dengan slogan “berpikir dan  bekerja untuk Indonesia, siapa takut .........???”
 

© 2002 ICE Online 
All right reserved. Privacy policy