|
Pengelolaan
Hutan dan Konsep Koperasi:
mencari
persenyawaannya
oleh: Asep
Mulyana
Hutan Indonesia
siapa peduli
Pertanyaan
dasar yang harus diajukan adalah, apakah kita sebagai bangsa Indonesia
berkeinginan melihat hutan Indonesia ini kembali utuh untuk kelangsungan
hidup anak cucu kita, atau dibiarkan terkikis habis menjadi alang-alang,
bahkan menjadi gurun. Bila jawabannya yang pertama, maka Hutan Indonesia
itu perlu di kelola dengan baik dan benar, agar kelestariannya dapat terjaga.
Tetapi jika jawabannya adalah yang kedua, tulisan ini tidak memiliki signifikansi
lagi.
Hutan
adalah bagian dari sumberdaya alam, yang dapat dimanfaatkan secara
langsung (diambil kayunya) atau secara tidak langsung (untuk penyelamatan
lingkungan hidup). Dalam teori ilmu kehutanan dinyatakan, bahwa pada dasarnya
dari areal hutan itu tidak ada penebangan pohon, karena azas pemanfaatan
hutan itu adalah "sustained yield principle". Layaknya managemen hutan
normatif harus mengindahkan konsep bahwa setiap penebangan harus selalu
diikuti dengan penanaman (pada hutan produksi non hutan alam), atau mengambil
pohon dengan meninggalkan permudaan alam/tegakan sisa yang tidak diperkenankan
ditebang karena diameternya belum cukup tebang. Kelak dari anakan pohon
yang ditinggalkan tersebut akan dipanen pada saat siklus tebang dari areal
hutan bersangkutan telah kembali ke awal setitar 20 tahun kemudian.
Konsep dari
sebuah teori memang selalu ideal, karena kondisi yang diinginkan bisa diasumsikan
dan dapat terpenuhi. Jika teori tentang kehutanan itu bisa berjalan "seindah
warna aslinya" tentu hutan di Indonesia akan tetap teruntai bagai jamrud
di khatulistiwa. Namun siapa pun akan menyatakan, bahwa hutan di Indonesia,
kini keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan!
Lalu dimana
teori indah nan ideal itu dipraktekan? Entahlah. Salah satu iklan yang
paling populer di televisi sekitar tahun 90-an adalah pernyataan
“Ah Teori”, sehingga seakan-akan membuat semua teori yang ada tidak berguna
karena hanya tersimpan sebagai arsip dan pada akhirnya akan terbuang pada
keranjang sampah. Jika masyarakat kita sudah berpikiran seperti ini, maka
hancurlah sebuah masyarakat, karena tidak ada lagi penghargaan terhadap
sebuah ilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan akan sepi karena di sana sebagian
besar hanya menyajikan teori-teori yang indah dan ideal saja.
Dalam jangka
panjang teori-teori tetap dan sangat diperlukan untuk kemajuan dan kemaslahatan
umat sebuah bangsa. Proses penemuan sebuah teori merupakan sebuah proses
yang sangat panjang, dan tentunya memerlukan daya pemikiran yang matang.
Untuk mencapai sebuah kematangan ada tahap-tahap yang harus di lalui, seperti
halnya kehidupan belum pernah ada bayi yang lahir langsung bergigi dan
berjalan, yang ada adalah nenek atau kakek yang sudah ompong.
Proses kematangan
sebuah masyarakat adalah dengan adanya lembaga pendidikan baik formal ataupun
non formal yang mempunyai visi, misi dan tujuan yang jelas, yang menunjang
proses kearah Indonesia yang lebih baik, sesuai dengan salah satu amanat
pembukaan UUD-45 yaitu mewujudkan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” yang bisa diterjemahkan dengan suatu masyarakat yang adil dalam
kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Dan tentunya hal ini tidak luput
instrumen atau lembaga yang mendukung kearah itu, seperti pemerintah, regulasi,
dan masyarakat itu sendiri.
Satu paparan
menarik mengenai managemen hutan ini terjadi pada kolloquium yang diselenggarakan
oleh Institute for Science and Technology Studies (ISTECS) Chapter Eropa
(4/5/2002) di Frankfurt bertajuk „Indonesien Forestry Management”. Beberapa
permasalan yang sempat terungkap bahwa sudah terjadi semacam pelacuran
ilmu kehutanan yang indah itu selama 3 dasa warsa demi sebuah slogan percepatan
pertumbuhan ekonomi, yang arah dan tujuannya sudah banyak meyimpang jauh
dari semula menjadi memakmurkan segolongan orang-orang yang dekat dengan
kekuasaan. Sehingga sampai sekarang pun masih berlomba-lomba untuk menjadi
penguasa, tanpa mempedulikan lagi aturan main. Ironis memang jika kekuasaan
menjadi tujuan utama, padahal setiap pemimpin pasti dimintai pertanggungjawaban
oleh masyarakat dan Tuhan jika kita sudah meninggal dunia.
Kelemahan
utama dari dunia kehutanan kita, dan juga barangkali sisi gelap di Indonesia
umumnya, adalah kelemahan di bidang penegakan hukum. Kebijakan yang
baik menuntut implementasi yang kuat. Sayangnya pihak pelaksana kebijakan
sering membuat keputusan-keputusan sendiri-sendiri di tingkat operasional
yang akhirnya meniadakan fungsi kebijakan makro yang melindungi hutan Indonesia.
Sebagai perbandingan, dalam diskusi yang berjalan hangat di ruang seminar,
terungkap betapa pemerintah Jerman memberikan “daya dorong” bagi keberhasilan
pelaksanaan sustainable growth (pertumbuhan berkesinambungan) hutan mereka.
Keberhasilan dari sebuah pengelolaan tentunya memerlukan alat ukur yang
jelas, salah satu contoh adalah pemerintah Jerman menetapkan kebijakan
dengan menyebutkan tujuan kuantitatif “menambah areal hutan
setiap tahun” dalam undang-undangnya. Aturan di Jerman dibuat sedetil mungkin,
supaya semua anggota masyarakat mengerti aturan yang ada, sehingga penegakan
peraturan dapat dilakukan dengan transparani dan melibatkan elemen
masyarakat/stake holder negara. Sebagai hasilnya, hutan di Jerman terus
bertambah luas dan hijau.
Di Indonesia
tujuan yang ditetapkan adalah mengelola hutan secara optimal dengan tidak
di dukung dengan transparansi ketentuan peraturan.Berangkat dari hal tersebut
terlihat bahwa alat ukur yang digunakan tidak jelas, sehingga memungkinkan
penafsiran yang berbeda-beda sesuai dengan kepentingan di lapangan. Ada
pemeo yang mungkin membuat kuping panas adalah “kalau bisa dibuat
sulit mengapa di buat mudah, kalau bisa dibuat bingung mengapa di buat
jelas”. Di dalam pengelolaan kehutanan pemeo ini bisa dipraktekkan dengan
„kalau bisa dibabat habis buat apa disisakan?, kalau dana reboisasi bisa
disulap untuk kepentingan lain, mengapa harus untuk reboisasi, dan seterusnya“.
Dan itu adalah bukan sifat kepribadian bangsa Indonesia yang begitu luhur
dan adi luhung, terkenal dengan keramah-tamahannya.
Mencari
Persenyawaan Manajemen Hutan dalam Nilai dan Prinsip Koperasi
Masih dalam
acara kolloqium tersebut, lebih lanjut terungkap problematika bagaimana
solusi alternatif yang bisa ditawarkan pada bangsa ini, dan upaya
memperbaiki pengelolaan kehutanan di Indonesia. Terungkap bahwa inti permasalahan
pengelolaan hutan di Indonesia tidak terletak pada kurangnya
kepedulian dan konsen terhadap kondisi ini, tetapi sangat kurangnya koordinasi
antara pihak-pihak yang berkepentingan sehingga kebijakan yang dibuat tidak
sesuai dengan kondisi realitas yang ada. Dalam mengelola hutan diperlukan
kerjasama dan koordinasi semua pihak tanpa merasa ada yang paling pintar
dan paling penting seperti halnya manusia yang utuh adalah dari kaki sampai
kepala dan mempunyai ruh.
Bangsa Indonesia
sudah kehilangan apa yang dulu selalu di dengar penulis yang dalam
Bahasa Jerman dikenal sebagai “Social Gerechtigkeit”, yaitu bagaimana
anak cucu bangsa ini harus mewarisi keadaan yang lebih baik dan bukan sebaliknya.
Masih ada kesempatan untuk mencoba berbuat yang terbaik buat kelestarian
hutan ini, sehingga Social Gerechtigkeitnya ini dapat diaplikasikan kembali
di Nusantara ini. Sebagai lembaga alternatif yang dapat ditawarkan adalah
pengelolaan yang menggunakan prinsip Genossenschaft (koperasi), dimana
semua stake holder yang menjadi bagian dari lembaga ikut bertanggung jawab
penuh pada kemajuan lembaga itu.
Ambil saja
salah satu prinsip Koperasi yaitu prinsip yang ketujuh Koperasi dimana
dikenal istilah Kepedulian terhadap Komunitas. Terkait dengan manajemen
Hutan adalah jika upaya pengelolaan management hutan mampu untuk mengadopsi
prinsip ketujuh Koperasi tak ayal degradasi hutan akan dicegah sedini mungkin.
Paling tidak teralokasi dengan cermat dan berkelanjutan.Namun hal ini tidak
semudah membalikkan telapak tangan harus ada usaha kearah sana, minimal
dengan melakukan propaganda langsung di lapangan maupun dengan penyempurnaan
kebijakan terkait.
Penutup
Jika usaha
pencarian persenyawaan antara menajemen Hutan dengan nilai dan prinsip
yang dikembangkan oleh Koperasi dapat terwujud, minimal ada semacam peluang
untuk kembali melakukan penyadaran betapa rawan sekali pereduksian hutan
sebagai sumber daya tak terpulihkan untuk anak cucu kita kelak. Meskipun
ini hanya satu alternatif dibanyak alternatif yang lain. Namun demikian
ada semacam semangat kepedulian dan kebersamaan terlagi murah karena semua
hanya disikapi dan didasarkan pada penyadaran atas arti penting hutan bagi
masa depan umat manusia. Penulis mencoba menutup dengan sebuah iklan yang
juga populer yang mudah-mudahan kita semua terprovokasi untuk bisa
mempertahankan idealisme bangsa Indonesia yang sudah merdeka 52 tahun untuk
“Berlomba-lomba membuat kebajikan bukan kebijakan dengan slogan “berpikir
dan bekerja untuk Indonesia, siapa takut .........???”
|